Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

jangan sombong (lagi)!!

Apa yang membuat kalian risih tentang kesombongan Fir’aun? Kesombongan Namrud? Kesombongan Qarun? Dalam hubungannya dengan Tuhan, kita harus mengatakan, IYA, kita risih. Tapi, dalam hubungannya dengan manusia, kita tentu akan maklum dengan kesombongan mereka. Betapa tidak, dunia ada dalam genggaman mereka. Kekayaan, dan kekuasaan; dua syarat menjadi sombong diantara manusia di atas bumi ini. Kekayaan mereka membuat orang-orang bermimpi ingin menjadi seperti mereka. Lihatlah, betapa mimpi saja sudah menjadikan orang-orang yang tidak seperti mereka menjadi sombong. Niat sombong. Apalagi kalau benar-benar menjadi seperti Qarun, Fir’aun atau juga, Namrud. Dan kekuasaan membuat orang-orang ingin menguasai semua tahta dunia ini, memiliki semua wanita di dunia ini. Lantas, masihkah kita menganggap kesombongan mereka itu sebuah kesombongan? Tidak, sekali-kali tidak. Mereka “berhak” atas itu. Lantas, atas apa mereka tidak berhak sombong dengan kekuasaan dan kekayaan mereka? Bukankah semua o

dari tujuh masjid jadi 1.700 masjid

Bertambahnya warga muslim di Inggris agaknya sejalan dengan semakin banyaknya jumlah masjid di negara itu. Sebagai perbandingan, pada 1961 hanya ada tujuh masjid di Inggris. “Pada 1990 jumlah masjid menjadi sekitar 400,” kata Inayat Bunglawala, pengurus MCB (Muslim Council of Britain), seperti dikutip koran The Times . Sepuluh tahun kemudian, menurut situs Islam Salaam.co.uk , jumlah masjid di seluruh Inggris berlipat menjadi tak kurang dari 1.700. Pada saat bersamaan, jumlah gereja menurun. Para pakar mengatakan, ribuan gereja akan ditutup dalam sepuluh tahun ke depan. Penutupan tersebut disebabkan makin sedikitnya warga kristen yang beribadah di gereja-gereja mereka. Gereja-gereja yang ditutup itu biasanya dialihfungsikan menjadi gudang, toko, restoran, bahkan masjid. Tidak banyak memang gereja yang kemudian menjadi masjid. Sebab, gereja Anglikan di Inggris tidak membolehkan pemilik baru menjadikan bekas gereja sebagai masjid atau tempat ibadah agama lain. Sementara itu, di Inggris

muhasabah tarbiyah

Satu kali, seorang teman akrab bercerita kepada saya tentang pembicaraannya dengan salah satu ustadz. Teman itu menceritakan betapa telah sering ia menjadi panitia dalam berbagai kegiatan. Bukan hanya panitia. Bahkan juga pembicara. Itu bisa dibuktikan dengan begitu banyaknya co-card yang tergantung di dinding kamarnya. Ya. Saya juga melihat sendiri betapa banyaknya co-card teman saya itu. Mungkin jumlahnya sekitar 20an keatas. Jumlah yang fantastis memang. Satu ketika, kata teman tadi, ada ustadz yang menanyakan, “akhi, banyak sekali co-card antum, aktif ya?.” “iya.” Jawab teman saya. “wah kalau begitu antum punya banyak binaan dong.” Lanjut ustadz tersebut. Dengan malu-malu teman saya mengatakan “nggak punya ustadz.” Lantas dengan tegas ustadz itu mengatakan “Antum belum berhasil, akhi. Percuma co-card antum itu!.” Di lain waktu, pada satu malam yang tidak semangat, saya teringat buku “ Yang Disenangi Nabi dan Yang Tidak Disukai” yang diantaranya membahas tentang silaturrah

mencipta kebahagiaan

Kebahagiaan. Sepertinya semua orang berhak mendapatkannya. Namun intensitas kebahagiaan pada tiap orang itulah yang membedakannya. Dan utamanya adalah dimana seseorang itu meletakkan sentuhan kebahagiaan itu sendiri. Jika kita meletakkan ukuran kebahagiaan pada kebersamaan dengan orang yang kita cintai, maka intensitas kebersamaan dengannya itulah yang akan membuat kita bahagia, selebihnya kita akan merasa sakit kalau tidak bersamanya. Atau lebih sedikit dari itu, merindukannya adalah hal yang mutlak dirasai. Jika kita meletakkan kebahagiaan pada rasa kita melihat kebenaran atau tentang nasihat kebenaran, maka kita akan nyaman dengan membuminya nilai-nilai seperti itu. Dan kerusakan, sepinya amar ma’ruf nahi munkar, adalah hal yang sangat menyakitkan. Maka, kepandaian kita dalam meletakkan kebahagiaan itu disisi mana dalam ruang hati kita menjadi penting untuk kita kuasai. Agar tidak ada lagi cerita roman picisan seperti Romeo dan Juliet, Majnun dan Laila, atau seperti dalam sajak say

judul kita apa?

Mungkin kita hanya sekedar makin sering terlambat. Mungkin juga sekadar sering lupa. Atau cuma sedikit Bertambah lalai. Atau mungkin cuma sekedar semakin enteng Untuk tidak terlibat. Bisa juga semacam ketenangan Dalam kealpaan. Dan tentu kita tidak menyebutnya sebagai futur…. Bisa jadi, kita cuma sedikit malas. Dimana dengannya, Dalih kita menjadi agak banyak dan bervariasi. Atau kita Hanya semacam sedikit pilih-pilih tugas. Ada agak banyak tugas Yang kita rasa sudah tidak pantas (lagi) kita kerjakan. Dan kita tidak menyebutnya sebagai futur…. Mungkin kita hanya sedikit terganggu. Kita hanya sedikit agak Terganggu dalam tilawah, atau dalam puasa atau mungkin Lainnya. Sebenarnya tidak berat, cuma sekedar agak sulit Menikmatinya. Dan kita memang sulit mendefinisikannya sebagai futur…. Kita mungkin cuma semacam bosan. Atau sekadar ingin Melongokkan kepala ke luar sana. Atau kita Cuma kaget kecil- Kecilan. Atau sedikit silau. Atau bahkan, sedikit lebih ringan Daripada itu. Dan sulit bagi k

sepertiga malam-Mu

Sepertiga malam Benarkah engkau sepertiga malam Sedang lelapmu dipertengahan malam Dan jagamu dipenghujung pagi Haruskah jiwa masih berbangga Dengan nuansa yang hanya diseparuh laga Sedang pagi sudah menanti Hanya dua raka’at didapati Dengan tidak teliti Jiwa yang lama terpasung Haruskah dada kembali membusung Sedang malam selalu terlewati Tanpa sepertiga malam menghiasi Wahai diri Segeralah kamu menginsafi Atas sepertiga malammu Yang semakin sering terlewati karena kealfaan diri. Sudut jiwa yang semakin terluka karena malam, January 2010-01-13 jam 06.30.

cinta tanpa definisi

Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat. Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang; seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuatan besar. Sepeti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-