Langsung ke konten utama

muhasabah tarbiyah


Satu kali, seorang teman akrab bercerita kepada saya tentang pembicaraannya dengan salah satu ustadz. Teman itu menceritakan betapa telah sering ia menjadi panitia dalam berbagai kegiatan. Bukan hanya panitia. Bahkan juga pembicara. Itu bisa dibuktikan dengan begitu banyaknya co-card yang tergantung di dinding kamarnya. Ya. Saya juga melihat sendiri betapa banyaknya co-card teman saya itu. Mungkin jumlahnya sekitar 20an keatas. Jumlah yang fantastis memang.

Satu ketika, kata teman tadi, ada ustadz yang menanyakan, “akhi, banyak sekali co-card antum, aktif ya?.” “iya.” Jawab teman saya. “wah kalau begitu antum punya banyak binaan dong.” Lanjut ustadz tersebut. Dengan malu-malu teman saya mengatakan “nggak punya ustadz.” Lantas dengan tegas ustadz itu mengatakan “Antum belum berhasil, akhi. Percuma co-card antum itu!.”

Di lain waktu, pada satu malam yang tidak semangat, saya teringat buku “Yang Disenangi Nabi dan Yang Tidak Disukai” yang diantaranya membahas tentang silaturrahim. Ya, saya coba melihat kebelakang, ternyata sepertinya tradisi ini sudah mulai sering saya tinggalkan. Maka malam itu juga saya contact salah satu teman saya dengan satu niat, silaturrahim. Ditengah perjalanan saya membayangkan betapa akan menyenangkannya silaturrahim ini. maklum, kalaupun sudah sering ketemu di forum, saya rasa akan berbeda rasanya ketika mendatanginya langsung dirumahnya.

Dan sampailah saya dirumahnya. Dan ba bi bu, ba bi bu…. Selanjutnya berbagai macam pertanyaan kok gini akh ya, kok gitu akh ya, sekarang kok lain rasanya akh ya, kok akh itu sekarang gini ya, kok kok kok banyak sekali. Malam yang luar biasa. Silaturrahim yang saya bayangkan akan menambah ukhuwah, iman, berbagi kebahagiaan, malah menjadi ajang untuk mengeluh. Dan dengan terpaksa sayapun mengatakan, iya, kok……

Walaupun terlalu dini untuk memukul rata bahwa kondisi kita relative sama dengan kejadian yang di atas itu, tapi saya rasa kita perlu bercermin pada setiap individu-individu dalam diri kita sendiri. Kita perlu mengevaluasi apakah kita hanya sering dan sukses menjadi panitia-panitia dalam sebuah acara, dan melupakan bahwa kepanitiaan itu tidak menuntut konsekwensi apapun dari para peserta. Lantas, disebalik itu kita sering mengeluh atas tidak berhasilnya follow up dari acara-acara yang kita adakan itu. Dan kitapun mulai kehilangan banyak peluang untuk melakukan recruitment. Sepertinya, untuk mengadakan acara-acara itu kita telah dengan sekuat tenaga mencurahkan semua kemampuan berpikir kita, energy kita, dan juga keuangan kita, dengan satu tujuan yang mulia yaitu recruitment. Tapi, setelah dievaluasi ternyata hanya beberapa gelintir saja yang masih bisa dipertahankan.

Karena memang acara-acara besar itu menyita banyak tenaga yang diwujudkan dengan seringnya kita syuro, seringnya kita menyiapkan konsep, sehingga terkadang kita lupa tentang prinsip tersederhana dalam satuan hidup, yaitu silaturrahim. Konon, cerita ustadz Fadli Reza, ikhwan-ikhwan pada masanya dulu masih sempat main bola dengan mengajak anak-anak baru sehingga dakwah bisa disampaikan melalui itu. Dan, lanjut ustadz Fadli, akhwat-akhwat pada masanya dulu sangat kuat sekali ukhuwahnya dengan para pembinanya karena banyak waktu yang mereka habiskan bersama pembinanya, seperti merawat anak sang Pembina.

Dan setelah saya amati secara seksama memang benarlah apa yang dikatakan oleh ust. Rahmat Abdulloh bahwa memang setiap kurun waktu ada tugas-tugas dan pemikulnya yang berbeda, namun satu hal yang pasti yaitu kembali kepada akar dimana kita semua berada, yaitu Tarbiyah itu sendiri. Jadi, apapun tugas kita, kewajiban kita, ita tidak boleh tercerabut dari akar kita, yaitu Tarbiyah. Silahkan mengartikan Tarbiyah itu sebagai apa saja. Bisa pendidikan tanpa henti, bisa silaturrahim, bisa bisa pembinaan, dll. Karena esensi dari Tarbiyah itu sendiri adalah menemukan nilai-nilai kebenaran manusia ditengah carut marutnya dunia. “Akulah petualang pencari kebenaran. Akulah manusia yang mencari makna dan hakikat kemanusiaannya ditengah manusia. Akulah patriot yang berjuang menegakkan kehormatan, kebebasan, ketenangan, dan kehidupan yang baik bagi tanah air dibawah naungan Islam yang hanif.” Kata sang muassis Hasan Al-Banna.

Mungkin setelah ini ada baiknya kita sedikit mengambil sejenak waktu untuk mengambil nafas seraya mengulang pemikiran(mengevaluasi) kita. Memang sudah jauh kita berjalan, tapi mungkin masih banyak yang tercecer. Memang sudah banyak yang kita korbankan, tapi mungkin ada satu dua hal yang kita belum ikhlas karenanya. Silaturrahim yang semakin jarang ada baiknya kita rajut kembali. Ukhuwah yang semakin mengering semoga tersirami kembali dengan silaturrahim kita tersebut.

Kita datangi rumah ikhwah kita sambil membawakan oleh-oleh, kalaupun tidak berupa materi, kita masih bisa memberikan senyum kita yang terbaik. Pembinaan yang menjadi landasan dari hidup kita hendaknya semakin dikuatkan kembali. Apalagi bagi yang sudah mampu dan memampukan diri untuk mempunyai mad’u. Luar biasa sekali ucapan sang muassis “laa budda ayyakuuna al-akh as-shoodiq Murobbiyan”, “al-akh yang benar haruslah menjadi seorang Murabbi”. Dan semoga dari hal-hal yang semacam inilah kita bisa menjadi kuat dalam berbagai aspeknya. Tidak ada lagi keluhan. Tidak ada lagi yang mengumpat lagi dibelakang. wallohu a’lam. Wallohu ‘Alam. (mencoba mengais kembali ruh kekuatan dari Yang Mahakuat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

jangan sombong (lagi)!!

Apa yang membuat kalian risih tentang kesombongan Fir’aun? Kesombongan Namrud? Kesombongan Qarun? Dalam hubungannya dengan Tuhan, kita harus mengatakan, IYA, kita risih. Tapi, dalam hubungannya dengan manusia, kita tentu akan maklum dengan kesombongan mereka. Betapa tidak, dunia ada dalam genggaman mereka. Kekayaan, dan kekuasaan; dua syarat menjadi sombong diantara manusia di atas bumi ini. Kekayaan mereka membuat orang-orang bermimpi ingin menjadi seperti mereka. Lihatlah, betapa mimpi saja sudah menjadikan orang-orang yang tidak seperti mereka menjadi sombong. Niat sombong. Apalagi kalau benar-benar menjadi seperti Qarun, Fir’aun atau juga, Namrud. Dan kekuasaan membuat orang-orang ingin menguasai semua tahta dunia ini, memiliki semua wanita di dunia ini. Lantas, masihkah kita menganggap kesombongan mereka itu sebuah kesombongan? Tidak, sekali-kali tidak. Mereka “berhak” atas itu. Lantas, atas apa mereka tidak berhak sombong dengan kekuasaan dan kekayaan mereka? Bukankah semua o

happy Idul fitri

saya, Amin Musthofa beserta keluarga mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H. semoga amal ibadah kita selama di bulan Ramadhan kemarin bisa membawa kita untuk lebih baik di bulan berikutnya. amiiiin....

dari tujuh masjid jadi 1.700 masjid

Bertambahnya warga muslim di Inggris agaknya sejalan dengan semakin banyaknya jumlah masjid di negara itu. Sebagai perbandingan, pada 1961 hanya ada tujuh masjid di Inggris. “Pada 1990 jumlah masjid menjadi sekitar 400,” kata Inayat Bunglawala, pengurus MCB (Muslim Council of Britain), seperti dikutip koran The Times . Sepuluh tahun kemudian, menurut situs Islam Salaam.co.uk , jumlah masjid di seluruh Inggris berlipat menjadi tak kurang dari 1.700. Pada saat bersamaan, jumlah gereja menurun. Para pakar mengatakan, ribuan gereja akan ditutup dalam sepuluh tahun ke depan. Penutupan tersebut disebabkan makin sedikitnya warga kristen yang beribadah di gereja-gereja mereka. Gereja-gereja yang ditutup itu biasanya dialihfungsikan menjadi gudang, toko, restoran, bahkan masjid. Tidak banyak memang gereja yang kemudian menjadi masjid. Sebab, gereja Anglikan di Inggris tidak membolehkan pemilik baru menjadikan bekas gereja sebagai masjid atau tempat ibadah agama lain. Sementara itu, di Inggris