Rasa sepi seorang ibu itu naluri yang sangat khas. Dahulu atau kini tak jauh berbeda. Bahkan tidak akan pernah sama dengan naluri dengan seorang ayah. Di tengah padatnya rutinitas kita yang sering menguasai diri kita, kita perlu sejenak berbicara dengan hati sendiri tentang seperti apakah kiranya hari ini keadaan ibu kita. Di tengah perubahan hidup yang seperti telah mengubah diri kita menjadi bukan kita yang sebenarnya, rasanya tak berlebihan bila sejenak kita perlu berbicara dengan perasaan kita, adakah rasa sepi kiranya tengah bergelayut di hati ibu kita.
Suatu hari dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang gelisah melepas diri kita memasuki sungai kehidupan dengan arus yang terus bergolak, memasuki belantara kekuasan baru yang absurd. Kekuasaan yang tidak selalu datang dari tirani, kekuasaan yang tidak selalu datang dalam bentuk jabatan yang mengekang. Tapi dari begitu banyak perubahan budaya baru yang telah menguasai kita. Fir’aun sudah tidak ada, tapi Fir’aunisme semakin merajalela.
Suatu waktu dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang kesepian. Merindukan kita yang mulai asyik dengan diri kita sendiri. Kita mulai membangun cara pandang berbeda, cita rasa berbeda, dan bahkan mencari alasan yang terlalu rumit untuk merasa tidak bisa memahami seorang ibu secara apa adanya. Di usia kita yang belum terlalu tegak menjadi lelaki atau perempuan dewasa, ibu kita masih dan akan selalu berkata, “Hati-hati nak.” Dan kita selalu menjawabnya, “Sudah mengerti bu, aku sudah besar.”
Suatu masa dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang menahan rindu. Menanti bertemu dengan anak-anak yang mulai terasa tak lagi bersamanya. Belajar jauh, hidup jauh membangun rumah tangga sendiri, merantau jauh mencari sumber rezeki, pergi jauh mencari tantangan kehidupan yang berbeda. Bahkan sebagian kita yang tinggal satu rumah dengannya tak jarang hidup dalam dunia yang berbeda. Kita dekat tapi jauh.
Suatu ketika dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang mencintai kita dengan segenap perasaannya yang dulu, tidak pernah berubah. Sama kuatnya, sama tulusnya. Sementara kita tumbuh dalam keangkuhan-keangkuhan kecil yang kadang berubah menjadi keangkuhan yang besar. Mungkin kita bukan kanak-kanak lagi, tapi bersama itu cara kita memahami perasaan ibu kita pun sering berubah. Hanya bila tiba-tiba sakit datang mengganggu kita, saat itu saja barangkali kita rindu pelukan dan sentuhan cinta ibu.
Suatu saat dalam hidup kita, ibu kita adalah ibu yang tak lelah berharap dan berdo’a untuk kita. Bahkan bila pun kita menganggap diri kita telah menjadi sesuatu. Seorang ibu telah menyisakan tempat di dalam hatinya, bahwa apapun yang dicapai anak-anaknya masih harus diberikan ruang-ruang antisipasi. Sebab tidak ada yang benar-benar final. Itu pasti tak akan mengurangi rasa bahagianya atas kebahagiaan anak-anaknya. Tak akan mengurangi rasa syukurnya atas segala prestasi anaknya. Tapi ruang antisipasi itu diperlukan sebagai sebuah sikap bijak orang tua, bahwa seperti bumi yang bulat dan berputar, segala prestasi dan capaian kehidupan selalu menjalani siklus perubahannya. Maka kepada orang tua kita selalu bisa belajar; bila tidak bisa belajar ilmu, kita pasti bisa belajar kebijaksanaan. (rewritten from majalah Tarbawi edisi 219. 11, Muharram 1431, 14 Januari 2010.) aku salin dengan tinta cinta jiwa yang suci kepada ibuku. ibu....ini aku....
Komentar
Posting Komentar